Bagi kaum muda Mesir, Said menjadi martir bagi gerakan pro demokrasi setelah mati mengenaskan oleh pihak keamanan, sedangkan Ghonim dianggap banyak kalangan sebagai pahlawan setelah ditahan polisi selama 11 hari.
Sebelum ditangkap polisi, Ghonim bergerak di "bawah tanah" sebagai aktivis internet. Pemuda berusia 30 tahun itu menjadi salah satu motor penggerak mobilisasi massa melalui internet untuk turun ke jalan dengan mengelola sejumlah grup akun di laman jejaring sosial Facebook.
"Ini adalah revolusi kaum muda di internet dan kini merupakan revolusi bagi semua rakyat Mesir," kata Ghonim kepada kantor berita Associated Press. Salah satu grup akun Facebook yang dikelola Ghonim itu bernama "We are All Khaled Said." Nama grup akun itu terinspirasi dari seorang pemuda bernama Khaled Said.
Menariknya, Ghonim dan kalangan muda lainnya melihat Said sebagai motivator mereka untuk berontak melawan kesewenang-wenangan rezim Mubarak, yang berkuasa sejak 1981. Pemimpin berusia 82 tahun itu, bagi Ghonim dan kaum muda di Mesir, memandang sebelah mata eksistensi dan hak-hak mereka untuk berekspresi.
Said pun menjadi korban kebrutalan rezim Mubarak. Pria berusia 28 tahun itu tewas Juni tahun lalu setelah, tanpa alasan yang jelas, disiksa sejumlah polisi berpakaian sipil di suatu warung internet di Kota Alexandria. Padahal Said adalah bagian dari masa depan Mesir. Menurut media Almasry Alyoum, Said dikabarkan pernah menimba ilmu di Amerika Serikat (AS) untuk belajar program sistem komputer.
Muncul foto Said dalam keadaan sudah tidak bernyawa namun dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Itulah sebabnya kematian Said di tengah polisi tidak bisa diterima para pemuda seperti Ghonim.
Maka, Ghonim pun rela mempertaruhkan profesinya sebagai salah seorang eksekutif perusahaan jasa informasi internet terbesar di dunia, Google Inc., untuk ikut bergerak menentang rezim Mubarak. Ghonim sejak Januari 2010 tercatat sebagai seorang manajer marketing Google untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dia sebenarnya hidup nyaman dengan pekerjaannya di Dubai, Uni Emirat Arab. Namun, kenyamanan itu dia tinggalkan selama beberapa pekan terakhir. Menurut stasiun berita BBC, Ghonim berhasil membujuk Google untuk memberi dia cuti pulang kampung ke Mesir karena "urusan pribadi." Nyatanya, ia ikut gerakan bawah tanah anti Mubarak.
Namun, pada 27 Januari 2011, Ghonim dinyatakan hilang saat situasi di Mesir akibat gelombang demonstrasi mulai panas. Akhirnya muncul laporan bahwa Ghonim ditahan polisi Kairo setelah ketahuan terlibat dalam gerakan anti Mubarak lewat internet.
Pria yang sudah punya dua anak itu selama 11 hari mendekam di sel. Berkat lobi dan desakan dari sejumlah pihak, termasuk dari lembaga Amnesty International, Ghonim akhirnya dibebaskan pada 7 Februari 2011.
Dalam wawancara dengan Dream 2 TV, Ghonim mengaku mendapat perlakuan baik dari polisi selama ditahan. Namun, dia kaget saat polisi menyebut dia sebagai penghianat.
"Siapapun yang punya maksud baik akan dicap pengkhianat karena menjadi jahat sudah merupakan norma. Kalau saya pengkhianat, tentu saya sudah berleha-leha di vila saya di Uni Emirat Arab sambil cari uang yang banyak dan berkata seperti yang lain, 'Biarkan negara ini [Mesir] jadi neraka.' Namun, kami bukan pengkhianat," kata Ghonim.
Di penjara berhari-hari tidak membuat Ghonim kapok. Menurut harian LA Times, tak lama setelah bebas, Ghonim bukannya pulang ke Dubai tapi justru kembali turun ke jalan. Ia juga kembali aktif di Twitter. "Kebebasan adalah sebuah berkah dan kita pantas untuk memperjuangkannya." kata Ghonim di salah satu tweet-nya.
Ghonim juga merupakan pendukung setia tokoh oposisi Mesir pemenang Nobel, Mohammad ElBaradai. Ghonim bergabung secara sukarela sebagai tim kampanye ElBaradei, sebulan sebelum mantan Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEC) itu kembali ke Mesir.
Menurut Ziad Al-Alimi, asisten senior ElBaradai, Ghonim sempat membantu membuatkan ElBaradai situs web resmi www.7amla.net. Dia juga membuat laman resmi ElBaradei di Facebook.
Aksi gigih dan pengorbanan Ghonim, yang terinspirasi oleh kematian tragis Said, membangkitkan kesadaran banyak orang di Mesir. Tak hanya kaum muda, namun juga warga-warga yang sudah mapan seperti Afaf Naged, mantan anggota komisaris Bank Nasional Mesir. Mereka pun turun ke jalan menuntut Mubarak segera turun dari kekuasaan.
"Saya juga datang kemari karena Wael Ghonim. Dia benar ketika mengatakan partai Mubarak, NDP (Partai Demokratik Nasional) telah tamat. Tidak ada lagi partai, namun mereka tidak mau mengakuinya," kata Naged seperti dikutip stasiun berita Al Jazeera.
Seorang perempuan bernama Fifi Shawqi juga baru kali pertama ikut berdemo. Dia membawa serta ketiga anaknya dalam demonstrasi di Lapangan Tahrir, Kairo, pada 8 Februari 2011.
Shawqi juga mengaku tergerak oleh pernyataan Ghonim selepasnya dari penjara. Kala itu, Ghonim menyatakan sedih atas korban tewas dan dia mengatakan cinta Mesir.
"Saya menangis. Saya merasa dia dan semua pemuda di sini seperti anak saya sendiri," ujar Shawqi. Dalam aksi itu, Ghonim sempat berorasi di hadapan puluhan ribu demontrasi di Lapangan Tahrir. Pidato ini langsung mendapatkan respon positif dan membakar semangat para demonstran.
Namun, Ghonim tidak mau disebut pahlawan. "Tolong jangan sebut saya sebagai pahlawan. Saya bukan pahlawan, saya selama 12 hari terakhir hanya tidur. Pahlawan adalah mereka yang turun ke jalan. Jadi, arahkan kamera Anda kepada orang yang tepat," kata Ghonim.
0 comments
Post a Comment